Kamis, 14 Februari 2019

TERJEBAK DALAM RUANG DAN WAK TU YANG SALAH JILID 2


Pernahkah kamu menaruh kepercayaan kepada seseorang atau meletakkan harapan yang besar kepada sesuatu? Tapi gimana jadinya kalo ternyata kamu percaya kepada orang yang salah dan berharap yang tidak pasti kepada seseorang tersebut? Harus sampai kapan kita berkubang dengan ketidakpastian? Terkadang demi mengharapkan sesuatu yang kita inginkan, kita harus menunggu untuk waktu yang cukup lama. Andaikan dia tahu, menunggu itu nggak enak rasanya. Apalagi kalo harus menunggu tanpa sebuah kepastian, tak tau lagi untuk sampai kapan kita harus menunggu. Namun setelah menunggu untuk waktu yang cukup lama, pada kenyataanya kita masih saja tak menemukan jawaban atas apa yang kita inginkan. Lalu apakah ini yang namanya terlalu berharap kepada sesuatu atau mungkin caranya dia menjawab memang dengan cara diam seribu bahasa.
Terkadang kita berpikir berharap yang tidak pasti kepada seseorang adalah sesuatu hal yang akan sia-sia saja. Disisi lain berharap yang tidak pasti kepada seseorang juga kemungkinan besar hasilnya adalah sebuah kekecewaan. Kenapa? Karena besarnya rasa harapan kita kepada sesuatu. Disaat harapan tak sesuai dengan keinginan maka kecewa adalah hasil yang sebenarnya.
Lalu apa yang sepatutnya harus kita lakukan ketika berharap yang tidak pasti kepada seseorang? Apakah kita harus berhenti disini dan mulai menyerah untuk berharap kepadanya? Atau kita harus tetap sabar sembari terus untuk berjuang?
Pada dasarnya kita harus memahami bahwa ada kalanya kita harus merelakan dan melepaskan, ada kalanya juga kita harus mampu berlapang dada dan menerima kenyataan. Kemudian ada kalanya kita akan pantang menyerah untuk berharap kepadanya. Itu semua tergantung pada diri kita sendiri, masih mau berharap yang tidak pasti kepada seseorang atau mau pergi kepada yang bisa memberikan kita sebuah kepastian yang jelas.
Memang harus diakui, ada sedikit kesalahan yang telah kita perbuat. Dimana kita terlalu percaya menggantung harapan kepada manusia, orang yang sangat sering menyakiti hati kita. Daripada kita berharap kepada manusia, lebih baik kita berharap kepada yang Maha Kuasa. Dia adalah satu-satunya yang tak pernah mengecewakan kita, dan Dia juga Maha Mengetahui apa yang kita semua inginkan. Jadi masih pantaskah kita untuk berharap selain kepada-Nya? Itu semua adalah pilihan.

ONI

Sabtu, 02 Mei 2015

Wanita Tetap Wanita

Aku, kamu..

Dunia mungkin berkata 
"kita rapuh seperti kristal"
Biarkan mereka menilai seberapa kuatnya kita"perempuan".

Sesekali patah, terpuruk
Namun selalu adaa kekuatan xtra untuk bangkit 
Begitulah cara kami menghadapi dunia.
Pun saat hati jatuh cinta.

Anda percaya cinta..?
Jawab cinta itu bukan kepercayaan tapi perasaanmu.
urusan percaya nggak percaya itu udah urusan hati.

Pertanyaan ini sama dengan 1+1 apa sama dengan 2..?
Jawabannya pasti 2, kalau kita sepakat dalam bilangan perpuluhan.
(soedjiwo tejo)

Apa kebahagiaan harus selalu memiliki pasangan

Cinta dan kebencian adalah unsur kekuatan, yang selain tanah, api, air, dan udara.
Kalau mau di tanya esisensinya, alam semesta jawabannya 

Socrates mengatakan:
* Cobalah dulu, baru cerita
* Pahamila dulu, baru menjawab
* Pikirkanlah dulu, baru berkata
* Dengarkanlah dulu, baru berpenilaian 
* Bekerjalah dulu, baru berharap

Jangan di jadikan beban, hati itu bukan bilangan pasti

Jodoh itu bukan di kirim tuhan dengan tidak sengaja, tapi seseorang yang datang lalu kita perjuangkan dan ada tombol klik di dalam sisi saat kita bertemu, 
dan jodoh itu tidak bisa di paksa. Ada cinta, rasa dan karsa. Jujur, nggak banyak orang yang paham soal ini.

Kadang dalam hidup apa yang kita pikir, kita rasa itu adalah yang terbaik buat kita. belum tentu, itu adalah bener-bener yang terbaik buat kita.

Bukankah lautan dan gunung bersepakat menjaga bumi
Namun tetap saja ombak tiba-tiba datang menganggu pantai 
lalu kemanakah kaki ini ku langkahkan
Cinta selalu bisa memiliki aku 
Walaupun aku tidak selalu mendapatkan cinta

Minggu, 04 Desember 2011

eksistensi mahasiswa

Berbicara tentang mahasiswa , hal pertama yang harus kita kritisi dan
pertanyakan kembali adalah ” benarkah kita ini Mahasiswa ? jika iya, dimanakah eksistensi kita sebagai seorang mahasiswa ? atau bahkan kita pun belum mengetahui arti dari mahasiswa itu sendiri ?”. Betapa naifnya kita, apabila tidak mengenal diri kita sendiri.
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya “ mahasiswa ” itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiyah, “ mahasiswa ” terdiri dari dua kata, yaitu ” Maha ” yang berarti tinggi dan ” Siswa ” yang berarti subyek pembelajar ( menurut Bobbi de porter ), jadi dari segi bahasa “ mahasiswa ” diartikan sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai “ mahasiswa ” sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit pemikiran kita, sebab meski ia ( baca : Mahasiswa ) diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, “ mahasiswa ” tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar ( study ), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. “ mahasiswa ” dituntut untuk menjadi seorang ikon-ikon pembaharu dan pelopor-pelopor perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat dan bangsa.
Apabila kita flash back melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. “ mahasiswa ” bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu ” mahasiswa ” dapat dikategorikan sebagai ” Agent of social change ” ( Istilah August comte dalam pengantar sosiologi ) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa.
Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa ( Plat form ), sebab masih ada sebagian madzhab mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa , bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen , lantas pulang duluan ke rumah, titik.
Inikah ” mahasiswa ” ? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi , respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali ( keberanian yang tinggi ) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas / perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta / aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi dalam kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi luar kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.
Oleh karena itu, pada tahun ini marilah kita senatiasa menginsafi dan selalu berintrospeksi diri kita sebagai seorang ” mahasiswa ”, juga kita jadikan sebagai moment untuk ” hijrah ”, yaitu hijrah dari kemalasan menuju kerja keras, hijrah dari sikap pesimis menuju sikap optimis, berani keluar dari kenyamanan untuk mendaki dan menempuh kesulitan, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa , sehingga endingnya kita layak dan pantas untuk disebut sebagai seorang ” mahasiswa